SEJARAH HUKUM PERDATA
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang
dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata
yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh
Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun
berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap
sebagai hukum yang paling sempurna.
KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah
panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code
Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5
Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun
itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud
Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten
dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum
berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van
Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J.
Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata
Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda
banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam
kodifikasi KUH Perdata Indonesia.
Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada
30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848.
kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW)
Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne,
Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa
dalam kodifikasi tersebut.
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Hukum perdata ialah aturan-aturan hukum yang
mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan
keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan
hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan
perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara
seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi(pers onal law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian
mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan
hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi.
Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan
sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan bangunan yang sangat
tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah perjanjian agar memotong
rambut tidak sampai botak
syarat sahnya perikatan yaitu;
a) Obyeknya harus tertentu.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
Syarat ini diperlukan hanya terhap perikatan yang timbul dari perjanjian.
b) Obyeknya harus
diperbolehkan.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum.
c) Obyeknya dapat
dinilai dengan uang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pengertian perikatan.
d) Obyeknya harus mungkin.
Yaitu yang mungkin sanggup dilaksanakan dan bukan
sesuatu yang mustahil.
Macam-macam perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6. Perikatan tentang penetapan hukuman
Macam-macam perikatan :
1. Perikatan bersyarat
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu
3. Perikatan yang membolehkan memilih
4. Perikatan tanggung menanggung
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
6. Perikatan tentang penetapan hukuman
HUKUM PERJANJIAN
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah
Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum
antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau
setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan,
kekhilafan dan penipuan.
Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan
berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan
bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh
undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
–
Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai
berikut:
(i) Menurut Pasal 330 KUH
Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur
21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii) Menurut Pasal 7 Undang-undang
No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan
(“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai
umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
– Mereka yang berada di bawah pengampuan.
– Orang perempuan dalam hal-hal yang
ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan,
ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
– Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang
untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
1.Mengenai suatu hal tertentu, hal ini
maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
2. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan
suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat
Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif,
karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka
salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus
mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan
(oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak
terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang sejatinya adalah hukum perikatan
yang timbul dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan memiliki akar kata
dagang. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan
sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk
memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga.
Sebagai suatu konsep, dagang secara sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan
untuk membeli barang dari suatu tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain
atau membeli barang pada suatu saat dan kemudian menjualnya kembali pada saat
lain dengan maksud untuk memperoleh kuntungan. Perdagangan berarti segala
sesuatu yang berkaitan dengan dagang (perihal dagang) atau jual beli atau
perniagaan (daden van koophandel) sebagai pekerjaan sehari-hari.
Ada istilah lain yang perlu untuk dijajarkan dalam
pemahaman awal mengenai hukum dagang, yaitu pengertian perusahaan dan
pengertian perniagaan. Pengertian perniagaan dapat ditemukan dalam kitab
undang-undang hukum dagang sementara istilah perusahaan tidak. Pengertian
perbuatan perniagaan diatur dalam pasal 2 dan 5 kitab undang-undang hukum
dagang. Dalam pasal-pasal tersebut, perbuatan perniagaan diartikan sebagai
perbuatan membeli barang untuk dijual lagi dan beberapa perbuatan lain yang
dimasukkan dalam golongan perbuatan perniagaan tersebut. Sebagai kesimpulan
dapat dinyatakan bahwa pengertian perbuatan perniagaan terbatas pada ketentuan
sebagaimana termaktub dalam pasal 2- 5 kitab undang-undang hukum dagang
sementara pengertian perusahaan tidak ditemukan dalam kitab undang-undang hukum
dagang.
Hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai
pengertian hukum dagang, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai
hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan antara perseorangan yang lain dalam segala usahanya untuk
memenuhi kebutuhannya. Salah satu bidang dari hukum perdata adalah hukum
perikatan. Perikatan adalah suatu perbuatan hukum yang terletak dalam bidang
hukum harta kekayaan, antara dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri, yang
menyebabkan pihak yang satu mempunyai hak atas sesuatu prestasi terhadap pihak
yang lain, sementara pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi tersebut.
Apabila dirunut, perikatan dapat terjadi dari
perjanjian atau undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata). Hukum dagang sejatinya
terletak dalam hukum perikatan, yang khusus timbul dari lapangan perusahaan.
Perikatan dalam ruang lingkup ini ada yang bersumber dari perjanjian dan dapat
juga bersumber dari undang-undang.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.
Hukum perdata diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kesimpulan ini sekaligus menunjukkan
bagaimana hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perdata
merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum dagang merupakan hukum khusus
(lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari kedua kelompok hukum tersebut,
maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai lex specialis derogat lex
generalis, artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang
bersifat umum. Adagium ini dapat disimpulkan dari pasal 1 Kitab undang-Undang
Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa: Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak khusus
diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga terhadap hal-hal yang
disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.